Semarang, 21 Mei 2025 – Pemerintah dan DPR saat ini tengah dihadapkan dengan pembahasan RUU Polri dan RUU KUHAP. Dalam menanggapi dinamika pembahasan Rancangan Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri) dan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Ketua Bidang Sosial dan Politik BEM Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Aufa Atha Ariq menyatakan dukungannya terhadap upaya pemerintah dalam melakukan reformasi sektor hukum dan keamanan. Namun, ia menegaskan bahwa reformasi tersebut harus dilakukan secara terbuka, akuntabel, dan berpihak pada rakyat.
Menurutnya, RUU Polri memang penting sebagai bagian dari pembaruan institusi kepolisian yang adaptif terhadap tantangan zaman. Akan tetapi, perluasan kewenangan Polri, seperti penyadapan dan penggalangan intelijen, harus disertai pengawasan yang ketat untuk mencegah potensi penyalahgunaan kekuasaan.
“Kewenangan besar harus diimbangi dengan akuntabilitas yang tinggi,” ujarnya.
Aufa juga menyoroti pengaturan kembali Pam Swakarsa yang berpotensi menjadi alat kekuasaan jika tidak diatur secara ketat. Ia menekankan bahwa lembaga pengawas seperti Kompolnas harus diperkuat agar mampu menjalankan fungsi kontrol terhadap institusi Polri secara independen dan efektif.
Terkait revisi KUHAP, Aufa menyambut baik arah reformasi yang menempatkan perlindungan hak asasi manusia sebagai prinsip utama. Ia memuji langkah penguatan peran hakim komisaris dan penerapan keadilan restoratif sebagai pendekatan baru dalam sistem peradilan pidana yang lebih manusiawi dan berpihak pada keadilan sosial.
Sebagai warga negara, Aufa menegaskan bahwa demokrasi bukan hanya soal pemilu lima tahunan, melainkan proses berkelanjutan yang menuntut keterlibatan aktif rakyat dalam setiap pengambilan kebijakan. Ia percaya pendidikan politik yang merata, transparansi pemerintahan, dan penegakan hukum yang adil adalah fondasi dari demokrasi yang sehat.
“Ketika rakyat tidak diberi ruang untuk berpartisipasi, ketika kritik dianggap ancaman, maka demokrasi kita tengah dalam bahaya. Oleh karena itu, saya mendukung kebijakan reformasi hukum pemerintah, namun dengan catatan penting: semua proses harus transparan, inklusif, dan berbasis pada kepentingan rakyat,” tegasnya.
Bagi Aufa, membangun demokrasi bukanlah tujuan akhir, tetapi perjalanan panjang yang memerlukan kesadaran, keberanian, dan komitmen kolektif untuk terus memperbaiki diri sebagai bangsa. Ia menekankan, hanya dengan partisipasi rakyat yang aktif dan institusi yang bersih serta kuat, Indonesia dapat mewujudkan sistem hukum dan demokrasi yang sejati.